Dari
kejauhan, kompleks Candi Muara Takus sudah terlihat unik. Berbeda
dengan candi di Pulau Jawa yang berdiri terbuka, candi di Desa Muara
Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, ini
dikungkung tembok. Bagian paling luar kompleks dikelilingi tembok tanah
atau tanggul kuno setinggi 2 meter memanjang sekitar 4 kilometer hingga
mencapai pinggiran Sungai Kampar Kanan.
Gugusan
candi dikelilingi tembok setinggi satu meter seluas berukuran 74 x 74
meter. Setelah masuk ke kompleks candi, segera nampak keunikan lainnya.
Candi-candi di sana, seperti juga candi di Muaro Jambi dan di kawasan
Padanglawas Utara, Sumatera Utara, dibangun dengan batu bata merah,
bukan batu andesit seperti kebanyakan candi di Jawa.
Maklumlah,
kawasan itu dataran rendah, sehingga batu alam sulit dijumpai. Entah
bagaimana teknologinya, bangunan batu bata merah itu ternyata sanggup
bertahan dan tak termakan usia. Sebagai objek wisata sejarah dan budaya,
kompleks candi peninggalan agama Budha yang berjarak 135 kilometer dari
Kota Pekanbaru ini cukup menarik perhatian masyarakat.
Umat
Budha setempat bersembahyang rutin di candi itu. Sejak beberapa tahun
belakang ini, candi tersebut dijadikan sebagai lokasi upacara peringatan
hari suci Waisak. Masyarakat non-Budha, termasuk dari luar Provinsi
Riau, banyak yang berwisata ke candi ini.
Sayangnya,
misteri masih menyelimuti riwayat kompleks candi ini. Sejumlah ahli
kepurbakalaan mengaitkan keberadaan wilayah dan gugusan candi itu dengan
Kerajaan Sriwijaya. Ada juga yang mengaitkannya dengan keberadaan
Kerajaan Melayu. Seorang sarjana Belanda, J.L. Moens, menyebutkan bahwa
Muara Takus pernah menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya.
Pandangan
ini didasarkan pada tafsirannya atas catatan pendeta Budha asal Cina,
I-tsing, yang pernah tinggal di kerajaan itu untuk mempelajari tata
bahasa Sanskerta pada 672. Persinggahan I-tsing dilakukan dalam
perjalanan dari Kanton menuju Nalanda, pusat pendidikan agama Budha di
India.
Dari
Sriwijaya, pendeta itu sempat menetap di Kerajaan Melayu selama dua
bulan, lalu berlayar dan tinggal sebentar di Kedah. Sekembali dari
Nalanda pada 685, ia mendapati bahwa Kerajaan Sriwijaya telah meluaskan
kekuasaannya dan menjadikan Kerajaan Melayu sebagai daerah taklukannya.
Menurut
Moens, catatan I-tsing yang menyebutkan bahwa di pusat Kerajaan
Sriwijaya pada tengah hari orang berdiri tanpa bayangan merujuk pada
lokasi di garis khatulistiwa. Lalu lokasi Muara Takus berada dekat
dengan pertemuan dua sungai, Kampar Kanan dan Batang Mahat, yang menjadi
jalur perdagangan yang ramai.
Tambahan
lagi, terdapat bukti bahwa pusat kerajaan itu sering berpindah
mengikuti jalur perdagangan yang ramai. Ia pun menyimpulkan, setelah
menguasai Kerajaan Melayu, pusat Kerajaan Sriwijaya pindah ke Muara
Takus. Tapi menurut Prof. Dr. Herwandi, Dekan Fakultas Sastra
Universitas Andalas, Padang, banyak sarjana yang memperkirakan bahwa
Kerajaan Melayu yang dikuasai Sriwijaya ketika itu berlokasi di Jambi
sekarang.
Perkiraan
ini terutama berdasarkan pada hasil penelitian geomorfologi pantai
timur Sumatera pada 1950-an. Hasil penelitian itu menyimpulkan, pada
abad ketujuh, Jambi dan Palembang masih berada dekat dengan laut. "Makin
ke sini, menurut para ahli pantai, daratan pantai timur ini bertambah
75 meter setiap tahun," ujarnya.
Selain
itu, dilihat dari letaknya, Jambi memiliki kedudukan lebih strategis
dalam lalu lintas pelayaran dan jalur perdagangan dari India ke Cina,
juga Jawa. Lebih-lebih, di Jambi ada peninggalan kompleks candi Budha
yang sangat luas. Pakar sejarah dan filologi Indonesia pun, seperti
Slamet Muljana, lebih cenderung menyatakan bahwa Kerajaan Melayu ketika
itu terletak di muara Sungai Batanghari atau Jambi sekarang.
Lepas
dari pro-kontra soal riwayat Muara Takus itu, satu hal dapat
dipastikan: gugusan candi di Muara Takus ditemukan geolog berkebangsaan
Belanda, Cornet de Groot, pada 1860. Memang, temuan ini tidak menjawab
pertanyaan kapan pastinya kompleks candi itu dibangun. J.L. Moens,
sesuai dengan kesimpulannya ihwal pusat Kerajaan Sriwijaya,
memperkirakan bahwa kompleks candi itu dibangun pada abad ketujuh.
Pakar
arkeologi Jerman, F.M. Schnitger, berpandangan lain lagi. Berdasarkan
penelitian yang dilakukannya pada 1935, 1936, dan 1938, ia menyatakan
kompleks candi itu dibangun pada abad ke-11 dan ke-12. Namun ada pakar
lainnya menyatakan bahwa candi-candi itu dibangun pada masa sebelum itu,
yakni sekitar abad ke-10.
Sayangnya,
belum ditemukan prasasti atau catatan sejarah yang menentukan kapan
pastinya kompleks candi Budha Tantrayana itu dibangun. Tabir sejarah
Candi Muara Takus boleh jadi sedikit terbuka dari prasasti peninggalan
Kerajaan Sriwijaya. Salah satunya adalah Prasasti Kedukan Bukit tahun
604 Saka, yang bertepatan dengan tahun 683 Masehi.
Dalam
prasasti itu tertulis bahwa Dapunta Hyang Sri Jayanasa, penguasa
Sriwijaya pada masa itu, melakukan perjalanan naik perahu membawa
puluhan ribu tentara. Perjalanan dari Minanga Tamwan ini dilakukan pada
hari ketujuh bulan Jesta ke arah selatan. Ada sejarawan yang
menafsirkan, kawasan Minanga Tamwan adalah kawasan Muara Takus sekarang.
0 comments:
Posting Komentar
"Silahkan berkomentar kawan,,, karena komentar anda sangat berarti pada blog ini, semoga bermanfaat, terima kasih ~,~"