Berikut ini merupakan kasus-kasus besar yang hingga kini tetap masih menjadi misteri di Indonesia dan belum tuntas penyelesaiannya baik secara hukum maupun keberadaan fisik ataupun siapa pelaku sebenarnya.
1. Kasus Sum Kuning (1970)
Ini adalah kasus getir dan pahit 
dari seorang gadis muda bernama Sumarijem seorang gadis muda dari kelas 
bawah seorang penjual telur dari Godean Yogyakarta yang (maaf) diperkosa
 oleh segerombolan anak pejabat dan orang terpandang di kota Yogyakarta 
kala itu.Kasus ini merebak menjadi berita besar ketika pihak penegak 
hukum terkesan mengalami kesulitan untuk membongkar kasusnya hingga 
tuntas. Pertama-tama Sum Kuning disuap agar tidak melaporkan kasus ini 
kepada polisi. Belakangan oleh polisi tuduhan Sum Kuning dinyatakan 
sebagai dusta. Seorang pedagang bakso keliling dijadikan kambing hitam 
dan dipaksa mengaku sebagai pelakunya.
Tanggal 18 September 1970 Sumarijem yang
 saat itu berusia 18 tahun tengah menanti bus di pinggir jalan dan 
tiba-tiba diseret masuk kedalam sebuah mobil oleh beberapa pria, didalam
 mobil Sumarijem (Sum Kuning) diberi bius (Eter) hingga tak sadarkan 
diri, Ia dibawa ke sebuah rumah di daerah Klaten dan diperkosa bergilir 
hingga tak sadarkan diri.
Kasus ini cukup pelik karena menurut 
Jendral Pur Hoegeng mantan Kapolri bahwa para pelaku pemerkosaan adalah 
anak-anak pejabat dan salah seorang diantaranya adalah anak seorang 
pahlawan revolusi (Hoegeng-Oase menyejukkan di tengah perilaku koruptif 
para pemimpin bangsa, penerbit Bentang).
Dalam bukunya juga disebutkan bahwa Sum 
Kuning ditinggalkan ditepi jalan, Gadis malang ini pun melapor ke 
polisi. Bukannya dibantu, Sum malah dijadikan tersangka dengan tuduhan 
membuat laporan palsu.
Dalam pengakuannya kepada wartawan, Sum 
mengaku disuruh mengakui cerita yang berbeda dari versi sebelumnya. Dia 
diancam akan disetrum jika tidak mau menurut. Sum pun disuruh membuka 
pakaiannya, dengan alasan polisi mencari tanda palu arit di tubuh wanita
 malang itu.Karena melibatkan anak-anak pejabat yang berpengaruh, Sum 
malah dituding anggota Gerwani. Saat itu memang masa-masanya pemerintah 
Soeharto gencar menangkapi anggota PKI dan underbouw-nya, termasuk 
Gerwani.Kasus Sum disidangkan di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Sidang 
perdana yang ganjil ini tertutup untuk wartawan. Belakangan polisi 
menghadirkan penjual bakso bernama Trimo. Trimo disebut sebagai 
pemerkosa Sum. Dalam persidangan Trimo menolak mentah-mentah. Jaksa 
menuntut Sum penjara tiga bulan dan satu tahun percobaan. Tapi majelis 
hakim menolak tuntutan itu. Dalam putusan, Hakim Ketua Lamijah Moeljarto
 menyatakan Sum tak terbukti memberikan keterangan palsu. Karena itu Sum
 harus dibebaskan.Dalam putusan hakim dibeberkan pula nestapa Sum selama
 ditahan polisi. Dianiaya, tak diberi obat saat sakit dan dipaksa 
mengakui berhubungan badan dengan Trimo, sang penjual bakso. Hakim juga 
membeberkan Trimo dianiaya saat diperiksa polisi.
Hoegeng terus memantau perkembangan 
kasus ini. Sehari setelah vonis bebas Sum, Hoegeng memanggil Komandan 
Polisi Yogyakarta AKBP Indrajoto dan Kapolda Jawa Tengah Kombes Suswono.
 Hoegeng lalu memerintahkan Komandan Jenderal Komando Reserse Katik 
Suroso mencari siapa saja yang memiliki fakta soal pemerkosaan Sum 
Kuning.”Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang 
gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kalau 
salah tetap kita tindak,” tegas Hoegeng.Hoegeng membentuk tim khusus 
untuk menangani kasus ini. Namanya ‘Tim Pemeriksa Sum Kuning’, dibentuk 
Januari 1971. Kasus Sum Kuning terus membesar seperti bola salju. 
Sejumlah pejabat polisi dan Yogyakarta yang anaknya disebut terlibat, 
membantah lewat media massa.Belakangan Presiden Soeharto sampai turun 
tangan menghentikan kasus Sum Kuning. Dalam pertemuan di istana, 
Soeharto memerintahkan kasus ini ditangani oleh Team pemeriksa Pusat 
Kopkamtib. Hal ini dinilai luar biasa. Kopkamtib adalah lembaga negara 
yang menangani masalah politik luar biasa. Masalah keamanan yang 
dianggap membahayakan negara. Kenapa kasus perkosaan ini sampai 
ditangani Kopkamtib??
Dalam kasus persidangan perkosaan Sum, 
polisi kemudian mengumumkan pemerkosa Sum berjumlah 10 orang. Semuanya 
anak orang biasa, bukan anak penggede alias pejabat negara. Para 
terdakwa pemerkosa Sum membantah keras melakukan pemerkosaan ini. Mereka
 bersumpah rela mati jika benar memerkosa.
Kapolri Hoegeng sadar. Ada kekuatan besar untuk membuat kasus ini menjadi bias.
Tanggal 2 Oktober 1971, Hoegeng dipensiunkan sebagai Kapolri. Beberapa pihak menilai Hoegeng sengaja dipensiunkan untuk menutup kasus ini.
Tanggal 2 Oktober 1971, Hoegeng dipensiunkan sebagai Kapolri. Beberapa pihak menilai Hoegeng sengaja dipensiunkan untuk menutup kasus ini.
Sum sendiri kemudian bekerja di Rumah 
Sakit Tentara di Semarang. Dia kemudian menikah dengan seorang pria yang
 sudah dikenalnya saat masih dirawat.
Tapi siapakah pelaku pemerkosaan 
sebenarnya dari Sum Kuning masih menjadi tanda tanya besar sampai saat 
ini sebab baik Sum Kuning tetap pada pendiriannya bahwa pemerkosanya 
adalah sekumpulan anak pejabat maupun 10 pemuda anak orang biasa yang 
diajukan ke pengadilan dan membantah habis-habisan tuduhan yang diajukan
 kepada mereka dan dijadikan sebagai kambing hitam untuk menutupi para 
pelaku sebenarnya.
2. Menghilangnya 13 Aktifis menjelang Reformasi
Menjelang Reformasi di tahun 1998 ada 
sekitar 13 orang aktivis yang diculik paksa oleh militer dan hingga kini
 keberadaan mereka masih menjadi misteri, jika mereka sudah meninggal 
dimanakah mereka dikuburkan dan alasan apa yang menyebabkan sehingga 
militer menculik ke-13 orang aktivis ini. Mereka adalah Yanni Afri, 
Sonny, Herman Hendrawan, Dedy Umar, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Ucok 
Munandar Siahaan, Petrus Bima Anugerah, Widji Tukul, Hendra Hambali, 
Yadin Muhidin dan Abdun Nasser.
Pasukan Kopassus dari tim mawar dianggap
 bertanggung jawab atas peristiwa menghilangnya ke-13 aktivis tersebut 
dimana ada 24 orang yang diculik namun 9 orang berhasil bebas yakni Aan 
Rusdiyanto, Andi Arief, Desmon J Mahesa, Faisol Reza, Haryanto Taslam, 
Mugiyanto, Nezar Patria, Pius Lustrilanang dan Raharja Waluya Jati.
Sementara 1 orang lagi yakni Leonardus 
Nugroho (Gilang) yang sempat dinyatakan hilang lalu 3 hari kemudian 
ditemukan telah meninggal dunia di Magetan dengan luka tembak 
dikepalanya.
Karena kasus ini sempat membuat heboh di
 tahun 1998 dan atas desakan berbagai pihak didalam maupun luar negri 
pada tanggal 3 Agustus 1998 Panglima ABRI saat itu, Jend Wiranto 
membentuk Dewan Kehormatan Perwira yang diketuai oleh Jend TNI Soebagyo 
HS yang saat itu menjabat sebagai KSAD, dan wakil ketua terdiri dari Let
 Jen TNI Fahrur Razi (Kasum ABRI), Let Jen Yusuf Kartanegara (Irjen 
Dephankam) dan anggota yang terdiri dari : Let Jen Soesilo Bambang 
Yudhoyono yang kini menjadi Presiden RI (Kassospol ABRI), Let Jen Agum 
Gumelar (Gubernur Lemhanas), Let Jen Djamiri Chaniago (Pangkostrad) dan 
Laksdya Achmad Sutjipto (Danjen AKABRI).
Pada tanggal 24 Agustus 1998 Letnan 
Jendral Prabowo Subianto selaku Panglima Komando Cadangan Strategis 
(Pangkostrad) diberhentikan dari dinas kemiliteran.
Menindaklanjuti keputusan dari Menteri 
Pertahana/Panglima ABRI Jendral Wiranto, dilakukan penyelidikan oleh 
PUSPOM ABRI dan selanjutnya diketahui bahwa tim mawar dari Kopassus 
diduga bertanggung jawab terhadap kasus penculikan dan penghilangan 
secara paksa para aktivis 1998 tersebut.
11 anggota Kopassus diadili secara 
militer namun KONTRAS dalam siaran pers nya menyebutkan :”Proses 
peradilan terhadap 11 anggota Kopassus terdakwa penculikan itu tidak 
lebih hanya sebuah rekayasa hukum untuk memutus pertanggung jawaban 
Letnan Jendral Prabowo Subianto yang sebenarnya paling bertanggung jawab
 atas operasi ini. Hal tersebut jelas bertolak belakang dengan hasil 
pemeriksaan DKP yang membuktikan bahwa Letjen Prabowo lah yang 
bertanggung jawab atas penculikan itu, karena itulah akhirnya ia 
dipensiunkan. Jadi secara keseluruhan kami berkesimpulan bahwa 
persidangan itu tidak lebih dari sebuah pertunjukan dagelan yang tidak 
lucu. Oleh sebab itu KontraS bersama keluarga korban tetap menuntut 
Letjen Prabowo Subianto, Mayjen Muchdi PR serta Kolonel Chairawan segera
 diseret ke pengadilan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas 
kasus penculikan ini” Pembacaan putusan pengadilan Mahkamah Militer 
Tinggi (Mahmilti) II Jakarta dengan nomor perkara PUT. 25 – 16 / K- AD /
 MMT – II/ IV/ 1999. Isi dari keputusan pengadilan menyatakan ;
No Nama Terdakwa Vonis / Hukuman
1 Mayor (Inf) Bambang Kristiono 22 bulan
 / dipecat, 2 Kapten (Inf) F.S Multhazar 20 bulan / dipecat, 3 Kapten 
(Inf) Nugroho Sulistyo 20 bulan / dipecat, 4 Kapten (Inf) Yulius 
Stevanus 20 bulan / dipecat, 5 Kapten (Inf) Untung Budi Harto 20 bulan /
 dipecat, 6 Kapten (Inf) Dadang Hendra Yuda 16 bulan / dipecat, 7 Kapten
 (Inf) Djaka Budi Utama 16 bulan / dipecat, 8 Kapten (Inf) Fauka Noor 
Farid 16 bulan / dipecat, 9 Sersan Kepala Sunaryo 12 bulan / dipecat, 10
 Sersan Kepala Sigit Sugianto 12 bulan / dipecat, 11 Sersan Satu Sukadi 
12 bulan / dipecat
Namun proses pengadilan tersebut tetap 
saja tidak memberikan kepastian dimanakah mereka menahan para aktivis 
tersebut dan jika sudah meninggal dimanakah mereka menguburkan atau 
membuang mayat ke-13 aktivis yang hilang tersebut.
3. Penembak Misterius (Petrus) 1982-1985.
Petrus atau juga dikenal sebagai operasi
 clurit dianggap oleh banyak orang sebagai sebuah operasi rahasia dimasa
 pemerintahan Orde Baru untuk menghabisi para Gali (Gabungan anak liar) 
dan Preman yang dianggap meresahkan dan mengganggu keamanan dan 
ketentraman masyarakat kala itu.
Hingga kini para pelaku Petrus tidak pernah tertangkap dan tidak jelas siapa pelakunya.
Kemungkinan besar adanya operasi ini karena instruksi dari Presiden Soeharto di tahun 1982 saat memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya, Anton Soedjarwo atas keberhasilannya membongkar kasus perampokan yang meresahkan masyarakat, lalu ditahun yang sama Soeharto kembali meminta Polisi dan ABRI dihadapan RAPIM ABRI untuk mengambil langkah pemberantasan yang efektif dalam menekan angka kriminalitas.Karena permintaan atau perintah Soeharto disampaikan pada acara kenegaraan yang istimewa, sambutan yang dilaksanakan oleh petinggi aparat keamanan pun sangat serius. Permintaan Soeharto itu sontak disambut oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo melalui rapat koordinasi bersama Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta yang berlangsung di Markas Kodam Metro Jaya 19 Januari 1983. Dalam rapat yang membahas tentang keamanan di ibukota itu kemudian diputuskan untuk melaksanakan operasi untuk menumpas kejahatan bersandi Operasi Celurit di Jakarta dan sekitarnya. Operasi Celurit itu selanjutnya diikuti oleh Polri/ABRI di masing-masing kota serta provinsi lainnya. Para korban Operasi Celurit pun mulai berjatuhan.
Kemungkinan besar adanya operasi ini karena instruksi dari Presiden Soeharto di tahun 1982 saat memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya, Anton Soedjarwo atas keberhasilannya membongkar kasus perampokan yang meresahkan masyarakat, lalu ditahun yang sama Soeharto kembali meminta Polisi dan ABRI dihadapan RAPIM ABRI untuk mengambil langkah pemberantasan yang efektif dalam menekan angka kriminalitas.Karena permintaan atau perintah Soeharto disampaikan pada acara kenegaraan yang istimewa, sambutan yang dilaksanakan oleh petinggi aparat keamanan pun sangat serius. Permintaan Soeharto itu sontak disambut oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo melalui rapat koordinasi bersama Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta yang berlangsung di Markas Kodam Metro Jaya 19 Januari 1983. Dalam rapat yang membahas tentang keamanan di ibukota itu kemudian diputuskan untuk melaksanakan operasi untuk menumpas kejahatan bersandi Operasi Celurit di Jakarta dan sekitarnya. Operasi Celurit itu selanjutnya diikuti oleh Polri/ABRI di masing-masing kota serta provinsi lainnya. Para korban Operasi Celurit pun mulai berjatuhan.
Petrus pada awalnya beraksi secara 
rahasia namun lambat laun aksi mereka seperti sebuah teror menakutkan 
bagi para bromocorah dan preman di kota-kota besar,  pada tahun 1983 
berhasil menumbangkan 532 orang yang dituduh sebagai pelaku kriminal. 
Dari semua korban yang terbunuh, 367 orang di antaranya tewas akibat 
luka tembakan. Tahun 1984 korban Petrus (Penembak Misterius) yang tewas 
sebanyak 107 orang, tapi hanya 15 orang yang tewas oleh tembakan. 
Sementara tahun 1985, tercatat 74 korban Petrus (Penembak Misterius) 
tewas dan 28 di antaranya tewas karena tembakan. Secara umum para korban
 Petrus saat ditemukan dalam kondisi tangan dan leher terikat. 
Kebanyakan korban dimasukkan ke dalam karung dan ditinggal di tepi 
jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, hutan-hutan, dan kebun. Yang 
pasti pelaku Petrus terkesan tidak mau bersusah-susah membuang korbannya
 karena bila mudah ditemukan efek shock therapy yang disampaikan akan 
lebih efektif. Sedangkan pola pengambilan para korban kebanyakan diculik
 oleh orang tak dikenal atau dijemput aparat keamanan. Akibat berita 
yang demikian gencar mengenai Petrus yang berhasil membereskan ratusan 
penjahat, para petinggi negara pun akhirnya berkomentar.ketika berita 
serupa hampir tiap hari muncul di seantero Jakarta dan massa mulai 
membicarakan masalah penembakan misterius, Benny Moerdani sebagai 
Panglima Kopkamtib seusai menghadap Presiden Soeharto lalu memberi 
pernyataan kepada pers bahwa penembakan gelap yang terjadi mungkin 
timbul akibat perkelahiaan antar geng bandit. “Seiauh ini belum pernah 
ada perintah tembak di tempat bagi peniahat yang ditangkap” komentar 
Benny. Dan tak ada seorang pun wartawan yang saat itu berani melaniutkan
 pertanyaan kepada jenderal yang dikenal sangat tegas dan garang itu.
Kepala Bakin saat itu, Yoga Soegama juga
 memberikan pernyataan yang bernada enteng bahwa masyarakat tak perlu 
mempersoalkan para penjahat yang mati secara misterius. Tapi pernyataan 
yang dilontarkan man-tan Wapres H. Adam Malik justru bertolak belakang 
sehingga membuat kasus penembakan misterius tetap merupakan peristiwa 
serius dan harus diperhatikan oleh pemerintah RI yang selalu menjunjung 
tinggi hukum. “Jangan mentangmentang penjahat dekil langsung ditembak, 
bila perlu diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi mati. Jadi 
syarat sebagai negara hukum sudah terpenuhi,” kecam Adam Malik sambil 
menekankan, “Setiap usaha yang bertentangan dengan hukum akan membawa 
negara ini pada kehancuran.”
Tindakan tegas para Penembak Misterius 
(Petrus) pada akhirnya memang menyulut pro dan kontra. Pendapat yang 
pro, Petrus pantas diterapkan kepada target yang memang jelas-jelas 
penjahat. Sebaliknya pendapat yang kontra menyatakan keberatannya jika 
sasaran Petrus hanya penjahat kelas teri atau mereka yang hanya memiliki
 tato tapi bukan penjahat beneran. Pendapat atau komentar yang cukup 
kontroversial adalah yang dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri Belanda, 
Hans van den Broek, yang secara kebetulan sedang berkunjung ke Jakarta 
pada awal Januari tahun 1984. Setelah bertemu dengan Menlu Mochtar 
Kusumaatmadja, Broek secara mengejutkan berharap bahwa pembunuhan yang 
telah mejnakan korban jiwa sebanyak 3.000 orang itu pada waktu mendatang
 diakhiri dan Indonesia juga diharapkan dapat melaksanakan konstitusi 
dengan tertib hukum. Menlu Mochtar sendiri menjawab bahwa peristiwa 
pembunuhan misterius itu terjadi akibat meningkatnya angka kejahatan 
yang mendekati tingkat terorisme sehingga masyarakat merasa tidak aman 
dan main hakim sendiri.
Atas pernyataan Menlu Belanda itu, Benny
 yang merasa kebakaran jenggot sekali lagi harus tampil untuk meluruskan
 tuduhan tadi. Ia kembali menegaskan bahwa pembunuhan yang terjadi 
karena perkelahian antar geng. “Ada orang-orang yang mati dengan luka 
peluru, tetapi itu akibat melawan petugas. Yang berbuat itu bukan 
pemerintah. Pembunuhan itu bukan kebijaksanaan pemerintah,” tegasnya. 
Namun persoalan penembakan itu akhirnya tidak lagi misterius meskipun 
para pelakunya hingga saat ini tetap misterius dan tidak terungkap. 
Beberapa tahun kemudian Presiden Soeharto justru memberikan uraian 
tentang latar belakang permasalahannya dimana ia mengatakan Tindakan 
keamanan tersebut memang terpaksa dilakukan sesudah aksi kejahatan yang 
terjadi di kota-kota besar Indonesia semakin brutal dan makin meluas. 
Seperti tertulis dalam bukunya Benny Moerdani hal 512-513 Pak Harto 
berujar : “Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment therapy, 
tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya harus dengan 
kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor-dor! 
Begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya mau tidak mau harus 
ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak. Lalu ada yang mayatnya 
ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. 
Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada 
yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa
 menumpas semua kejahatan yang sudah melampui batas perikemanusiaan. 
Maka kemudian redalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu”
Namun jika para petinggi militer maupun 
presiden sendiri menyatakan bahwa penembakan terhadap para preman karena
 melawan saat hendak ditangkap bagaimana Moerdani menjelaskan para 
korban Penembakan Misterius yang ditemukan dalam goni-goni dengan tangan
 terikat atau yang dihanyutkan di sungai? atas kordinasi siapakah para 
Penembak Misterius itu menjalankan perintah?
4. Kasus Kematian Peragawati Terkenal Dietje
Diera tahun 1980an ada seorang 
peragawati ternama yang cantik bernama Dietje yang bernama lengkap 
Dietje (Dice) Budimulyono/Dice Budiarsih, ia tewas dibunuh dengan 
tembakan berulang kali oleh seorang yang ahli dalam menembak kemudian 
mayat nya dibuang disebuah kebun karet dibilangan kalibata yang sekarang
 menjadi komplek perumahan DPR. Setelah kasus tersebut marak di media 
massa, Polisi akhirnya menangkap seorang tua renta yang nama aslinya 
tidak diketahui dan hanya dikenal dengan panggilan Pakde dikenal juga 
sebagai Muhammad Siradjudin, konon ia adalah seorang dukun. Yang entah 
dengan alasan dan motif apa yang tidak jelas ia dianggap sebagai 
pembunuh Dietje. Bagi Polis Motif tidak begitu penting karena Polisi 
mengungkapkan bahwa “katanya” mereka “Memiliki bukti yang kuat”.
Pak De membantah sebagai pembunuh Ditje 
seperti yang tercantum dalam BAP yang dibuat polisi. Pengakuan itu, 
menurut Pak De dibuat karena tak tahan disiksa polisi termasuk anaknya 
yang menderita patah rahang. Ketika itu, Pak De mengajukan alibi bahwa 
Senin malam ketika pembunuhan terjadi, dia berada di rumah bersama 
sejumlah rekannya. Saksi-saksi yang meringankan untuk memperkuat alibi 
saat itu juga hadir di pengadilan. Namun, saksi dan alibi yang 
meringankan itu tak dihiraukan majelis hakim.
Akhirnya Pakde dijatuhi hukuman penjara 
seumur hidup namun publik saat itu sudah mengetahui rumor bahwa Dietje 
menjalin hubungan asmara dengan menantu dari orang paling berkuasa di 
Indonesia saat itu. Dan tentu saja kasus seperti ini tidak akan pernah 
terungkap dengan benar. Karena pemilik informasi satu-satunya kepada 
media atau publik berasal dari polisi. Dan bisa jadi, publik digiring 
dengan sekuat tenaga, untuk ‘meyakini’ bahwa benarlah yang membunuh 
Dietje adalah Pakde.
Dietje disebutkan dipakai sebagai “Jasa”
 oleh seorang eks petinggi militer yang terjun ke dunia usaha dan untuk 
memuluskan bisnisnya Dietje dipakai oleh sang eks petinggi militer untuk
 menyenangkan menantu orang paling berkuasa di Indonesia,  Hasil dari 
jasa Dietje, sang ‘jenderal’ pengusaha mendapat satu kontrak besar 
pembangunan sebuah bandar udara modern. Tapi hubungan Dietje berlanjut 
jauh dengan sang menantu. Ketika perselingkuhan itu ‘bocor’ ke keluarga 
besar, keluar perintah memberi pelajaran kepada Dietje, hanya saja 
‘kebablasan’ menjadi suatu pembunuhan. Dietje ditembak di bagian kepala 
pada suatu malam tatkala mengemudi sendiri mobilnya di jalan keluar 
kompleks kediamannya di daerah Kalibata. Pak ‘De’ Siradjuddin yang 
dikenal sebagai guru spiritualnya dikambinghitamkan, ditangkap, dipaksa 
mengakui sebagai pelaku, diadili dijatuhi hukuman seumur hidup dan 
sempat dipenjara bertahun-tahun lamanya, Hingga akhirnya Pak De mendapat
 grasi dari Presiden BJ Habibi dimana hukuman Pak De dirubah dari seumur
 hidup menjadi 20 tahun di tahun 1999.Akhirnya 27 Desember 2000 Pak De 
dapat meninggalkan hotel prodeo setelah pemerintah memberikan kebebasan 
bersyarat. Setelah menghirup udara bebas, Pak De lebih sering mengurusi 
ayam-ayamnya. Tubuhnya telah lama layu. Kumis tebalnya juga sudah 
berwarna kelabu. Kepada setiap orang kembali Pak De menyatakan: “Pak De 
tidak membunuh Ditje”. Pak De dalam kasus pembunuhan itu merasa menjadi 
kambing hitam oleh polisi dan Polda Metro Jaya. “Sebenarnya saat itu 
polisi tahu pembunuhnya,” kata Pak De. Siapakah pelakunya? Pak De 
menyebut-nyebut sejumlah nama yang saat itu dekat dengan kekuasaan. 
Entahlah, sebab di negeri ini keadilan tidak berlaku bagi rakyat kecil
5. Kasus Pembunuhan Udin
Udin adalah seorang wartawan Harian 
Bernas di Yogyakarta yang tewas terbunuh oleh seseorang tidak dikenal. 
Udin yang bernama asli Fuad Muhammad Syafrudin pada selasa malam 13 
Agustus 1996 kedatangan seorang tamu misterius yang kemudian menganiyaya
 dirinya dan pada tanggal 16 Agustus 1996 Udin harus mengembuskan nafas 
terakhirnya.
Udin tercatat sebagai seorang wartawan 
yang kritis terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer.Kasus 
Udin menjadi ramai karena Kanit Reserse Polres Bantul, Serka Edy 
Wuryanto dilaporkan telah membuang barang bukti dengan membuang sampel 
darah Udin ke laut dan mengambil buku catatan Udin dengan dalih 
penyelidikan dan penyidikan.
Kasus Udin menjadi gelap akibat 
hilangnya beberapa bukti penting dalam pengungkapan kasus kematian sang 
wartawan dan juga terdapat beberapa orang yang dikambing hitamkan atas 
peristiwa kematian Udin.
Seorang wanita bernama Tri Sumaryani 
mengaku ditawari dengan imbalan sejumlah uang untuk membuat pengakuan 
bahwa ia dan Udin telah melakukan hubungan gelap dan suaminya lah yang 
telah membunuh Udin.
Lalu Dwi Sumaji alias Iwik  seorang 
supir dari Dymas Advertising Sleman diculik di perempatan Beran Sleman 
lalu dibawa ke Hotel Queen of the South Parangtritis dan dipaksa oleh 
Serka Edy Wuryanto yang memiliki nama panggilan Franky agar mengaku 
sebagai pembunuh Udin, sebelumnya di sebuah losmen bernama Losmen Agung 
yang juga berada di parangtritis Iwik dicekoki berbotol-botol minuman 
keras hingga mabuk dan disuguhi wanita penghibur dan diberi janji uang, 
pekerjaan yang layak serta jaminan hidup buat keluarganya dimana 
sebelumnya ia dijebak oleh Edy Wuryanto dengan dalih pembicaraan bisnis 
Billboard. Di pengadilan Iwik mencabut seluruh “pengakuan” dirinya dalam
 pemeriksaan yang dilakukan oleh Polisi karena ia sebagai korban 
rekayasa dan berada dibawah ancaman tekanan dan paksaan oleh Kanit 
Reserse Polres Bantul Serka Edy Wuryanto.
Komnas HAM mengadakan investigasi 
lapangan dan menyimpulkan telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia 
namun tetap saja Iwik dijadikan sebagai tersangka utama oleh Polisi dan 
diajukan ke persidangan, walau penuh teror dari berbagai pihak akhirnya 
Iwik divonis bebas oleh majelis hakim dan motif perselingkuhan yang 
selama ini dihembuskan secara otomatis gugur selain itu majelis hakim 
memerintahkan agar polisi mencari, mengungkap motif, dan menangkap 
pelaku pembunuhan Udin yang sebenarnya.
Dalam kesaksiannya di persidangan Iwik 
menyatakan bahwa dirinya selain menjadi korban rekayasa dan bisnis 
politik, ia hanya dipaksa menjalankan skenario rekayasa Franki alias 
Serma Pol Edy Wuryanto dengan alasan untuk melindungi kepentingan Bupati
 Bantul Sri Roso Sudarmo.
Namun hingga kini para pelaku kejahatan 
pembunuhan terhadap sang wartawan yang kritis tersebut tidak ada yang 
ditangkap atau diadili ke meja hukum.
6. Kasus Marsinah
Marsinah hanyalah seorang buruh pabrik 
dan aktivis buruh yang bekerja pada PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong
 Sidoarjo, Jawa Timur. Ia ditemukan tewas terbunuh pada tanggal 8 Mei 
1993 diusia 24 tahun. Otopsi dari RSUD Nganjuk dan RSUD Dr Soetomo 
Surabaya menyimpulkan bahwa Marsinah tewas kerena penganiayaan berat.
Marsinah adalah salah seorang dari 15 
orang perwakilan para buruh yang melakukan perundingan dengan pihak 
perusahaan. Awal dari kasus pemogokan dan unjuk rasa para buruh karyawan
 CPS bermula dari surat edaran Gubernur Jawa Timur No. 50/Th. 1992 yang 
berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan 
karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. 
Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan, 
namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran 
perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya
 (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya,
 karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 
menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250.
Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa 
Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke 
Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa 
mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap 
dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi 
Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang 
sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, 
Marsinah lenyap.
Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah
 tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah 
menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.
Pada tanggal 30 September 1993 dibentuk 
tim Bakorstanasda Jatim  untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan 
kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah 
Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan 
beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara
 diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala 
Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami 
siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang 
kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang 
diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat 
untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk 
salah satu yang ditangkap.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya 
diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan 
terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. 
Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari 
kambing hitam pembunuh Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah 
menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan 
terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat 
pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI.
Hasil penyidikan polisi ketika 
menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah
 dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu
 dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan 
Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam 
CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 
tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar
 empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi 
dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat
 kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa 
dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, 
setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga 
muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah “direkayasa”.
Kasus ini menjadi catatan ILO 
(Organisasi Buruh Internasional), dikenal sebagai kasus 1713.  Hingga 
kini kasus Marsinah tetap menjadi misteri dan menjadi sejarah kelam 
ranah hukum di Indonesia.
7. Kasus Menghilangnya Edy Tansil 
Edy Tansil adalah seorang pengusaha 
keturunan yang memiliki nama asli Tan Tjoe Hong/Tan Tju Fuan yang 
menjadi narapidana dan harus mendekam selama 20 tahun di penjara 
Cipinang atas kasus kredit macet Bank Bapindo yang merugikan negara 
senilai 565 juta dollar (1.5 T rupiah dengan kurs dollar saat itu). Edy 
Tansil dilaporkan kabur dari penjara pada tanggal 4 Mei 1996 dan 20 
petugas LP Cipanang dijadikan tersangka karena dianggap membantu Edy 
Tansil melarikan diri dan sejak itu keberadaan dari Edy Tansil seperti 
raib ditelan bumi.
Sebuah LSM pengawas anti-korupsi bernama
 Gempita melaporkan bahwa Edy Tansil tengah menjalankan bisnis sebuah 
perusahaan bir yang mendapat lisensi dari perusahaan bir Jerman bernama 
Becks Beer Company di kota Pu Tian Provinsi Fujian China.
Di tahun 2007 Tempo interactive 
melaporkan bahwa tim pemburu koruptor (TPK) berdasarkan temuan dari 
PPATK menyatakan akan segera memburu Edy Tansil dimana PPATK menemukan 
bukti bahwa buronan tersebut telah melakukan transfer uang ke Indonesia 
setahun sebelumnya. Namun hingga kini keberadaan Edy Tansil tetap masih 
menjadi misteri.
Ada beberapa koruptor yang juga 
melarikan diri ke luar negri dan hingga kini keberadaan mereka tidak 
terungkap atau belum tertangkap seperti Adelin Lis, Sjamsul Nursalim, 
David Nusa Wijaya, Maria Pauline, Djoko S Tjandra, Marimutu Sinivasan, 
Hendra Rahardja, Sukanto Tanoto dan masih banyak lainnya.
8. Kasus Munir
Munir sebenarnya akan melanjutkan study 
S2 di Univeritas Utrecht, Belanda dan dalam kronologi kasus pembunuhan 
aktivis HAM tersebut disebutkan bahwa menjelang memasuki pintu pesawat, 
Munir bertemu dengan Polycarpus seorang pilot pesawat Garuda yang sedang
 tidak bertugas dan Polycarpus menawarkan kepada Munir untuk berganti 
tempat duduk pesawat dimana Munir menempati kursi Polycarpus dikelas 
bisnis dan Polycarpus menempati kursi Munir dikelas ekonomi.
Sebelum pesawat mengudara, flight 
attendant (Pramugari) Yetti Susmiarti dibantu Pramugara senior Oedi 
Irianto membagikan welcome drink kepada para penumpang dan Munir memilih
 Jus Jeruk.
Pukul 22.05 WIB pesawat lepas landas dan
 15 menit kemudian kembali Flight Attendant membagikan makanan dan 
minuman kepada para penumpang, Munir memilih mi goreng dan kembali 
memilih jus jeruk sebagai minumannya, setelah mengudara hampir 2 jam 
pesawat mendarat di bandara Changi Singapura.
Di bandara Changi Munir menghabiskan 
waktu di sebuah gerai kopi sedangkan seluruh awak pesawat termasuk 
Polycarpus berangkat menuju hotel menggunakan bus dan perjalanan dari 
Singapura menuju Belanda seluruh awak pesawatnya berbeda dari perjalanan
 Jakarta menuju Singapura.
Dalam perjalanan Munir meminta kepada 
flight attendant Tia Ambarwati segelas teh hangat dan Tia pun menyajikan
 segelas teh hangat yang dituangkan dari teko ke gelas diatas troli 
dilengkapi gula sachet.
Tiga jam setelah mengudara Munir bolak 
balik ke toilet, saat berpapasan dengan Pramugara bernama Bondan, Munir 
memintanya memanggil Tarmizi seorang dokter yang ia kenal saat hendak 
berangkat yang kebetulan juga menuju Belanda, Tarmizi melakukan 
pemeriksaan umum dengan membuka baju Munir. Dia lalu mendapati bahwa 
nadi di pergelangan tangan Munir sangat lemah. Tarmizi berpendapat Munir
 mengalami kekurangan cairan akibat muntaber. Munir kembali lagi ke 
toilet untuk muntah dan buang air besar dibantu pramugari dan pramugara.
 Setelah selesai, Munir ke luar sambil batuk-batuk berat.Tarmizi 
menyuruh pramugari untuk mengambilkan kotak obat yang dimiliki 
pesawat.Kotak pun diterima Tarmizi dalam keadaan tersegel. Setelah 
dibuka, Tarmizi berpendapat bahwa obat di kotak itu sangat minim, 
terutama untuk kebutuhan Munir: infus, obat sakit perut mulas dan obat 
muntaber, semuanya tidak ada. Tarmizi pun mengambil obat di tasnya. Dia 
memberi Munir dua tablet obat diare New Diatabs; satu tablet obat mual 
dan perih kembung, Zantacts dan satu tablet Promag. Tarmizi menyuruh 
pramugari membuat teh manis dengan tambahan sedikit garam. Namun, 
setelah lima menit meminum teh tersebut, Munir kembali ke toilet. 
Tarmizi menyuntikkan obat anti mual dan muntah, Primperam, kepada Munir 
sebanyak 5 ml. Hal ini berhasil karena Munir kemudian tertidur selama 
tiga jam. Setelah terbangun, Munir kembali ke toilet. Kali ini dia agak 
lama, sekitar 10 menit, ternyata Munir telah terjatuh lemas di toilet.
Dua jam sebelum pesawat mendarat, 
terlihat keadaan Munir: mulutnya mengeluarkan air yang tidak berbusa dan
 kedua telapak tangannya membiru. Awak pesawat mengangkat tubuh Munir, 
memejamkan matanya dan menutupi tubuh Munir dengan selimut. Ya, Munir 
meninggal dunia di pesawat, di atas langit Negara Rumania.
Setelah dilakukan penyelidikan termasuk 
oleh pihak otoritas Belanda ditemukan bahwa didalam tubuh Munir 
ditemukan kandungan racun Arsenik sebanyak 460mg didalam lambungnya dan 
3.1mg/l dalam darahnya.
Namun terdapat keanehan setelah 
dilakukan otopsi oleh pihak RS Dr Soetomo dimana kandungan arsenik yang 
ditemukan didalam lambung Munir sedikit ganjil karena seharusnya 
kandungan arsenik tersebut sudah hancur/melarut.
Ini terkesan mempertegas spekulasi jika 
kandungan arsenik dalam tubuh Munir baru dimasukkan ketika jenazahnya 
sudah di Indonesia. Spekulasi ini juga diperkuat dengan permintaan 
mereka untuk menahan lebih lama organ tubuh Munir. Spontan ini juga 
menimbulkan indikasi bahwa hal itu dilakukan agar organ tubuh Munir bisa
 dipersiapkan (dimark-up) agar benar-benar akan terkesan keracunan 
arsenik ketika diperiksa oleh pihak lain. Disebutkan juga ciri-ciri 
korban yang keracunan arsenik, antara lain: ada pembengkakan otak, paru 
paru yang mengalami kerusakan, mulut keluar darah karena indikasi 
kerusakan sistem pencernaan. Ketika arsenik masuk kedalam tubuh (dan 
racun mulai bekerja), biasanya korban mengalami muntaber berat disertai 
kejang-kejang.
Apapun itu penyebab kematian aktivis HAM
 tersebut namun hingga kini tampaknya kasus tersebut belum tuntas 
walaupun ada beberapa orang yang telah dijatuhi vonis oleh pengadilan 
namun Suciwati selaku istri Munir tetap merasa tidak puas dan meminta 
pemerintah menuntut secara tuntas kasus kematian suaminya.
Apakah ini tindakan kontra intelijen 
ataupun sebuah operasi pembunuhan oleh intelijen? tidak ada yang 
mengetahui kejadian sebenarnya kecuali mungkin para pelaku utama pemberi
 perintah untuk membunuh sang aktivis. Namun yang pasti didalam sebuah 
kasus pembunuhan terencana harus ada motif dan tujuan dari melenyapkan 
seseorang, apakah pihak dinas intelijen RI begitu bodoh untuk membunuh 
seseorang yang secara aktif mengkritisi berbagai persoalan HAM di 
indonesia dan jika ia dihilangkan secara paksa pasti mata dan tuduhan 
internasional pasti akan mengarah kepada pemerintah Indonesia, dan pihak
 militer serta badan intelijennya, atau mungkin ada beberapa pihak yang 
telah gelap mata akibat sikap kritis dari Munir yang membuat mereka 
mengambil keputusan untuk menghabisinya, sebuah misteri yang belum 
terungkap hingga kini.
Itulah artikel tentang 8 Kasus Besar Yang Tetap Menjadi Misteri di Indonesia, Baca Juga Kasus Pembunuhan Yang Masih Menjadi Misteri di Dunia
sumber: http://www.yudhe.com/8-kasus-besar-yang-tetap-menjadi-misteri-di-indonesia/
Read more: http://myhafiezers.blogspot.com/2011/12/cara-memasang-tombol-like-diatas.html#ixzz1lWGYivoY









